Obstruction of Justice dan lika liku hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak
Hukum Dan Profesi Dokter |
Indonesia tengah diperhadapkan pada kegalauan penerapan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak, kemanusiaan ataukah kepastian hukum? Ketika dua hal ini berada pada sisi yang berlainan maka akan sulit menentukan manakah yang harus di dahulukan.
Hukuman kebiri kembali terangkat ke permukaan dan menjadi buah bibir para jurnalis dan media sosial sebagai penyampaian uneg-uneg netizen terhadap sikap penegak hukum atas kegalauan yang terjadi saat ini.
Bagaimana tidak, disatu sisi kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu kejahatan yang menyalahi keteraturan kehidupan bermasyarakat, karena terdapat dampak yang cukup besar terhadap korbannya, mulai dari trauma, hilangnya kepercayaan diri, sulit bergaul, malu yang berkepanjangan serta stress.
Sedangkan di sisi lainnya pelaku kejahatan seksual diperhadapkan dengan tuntutan hukuman kebiri kimia sebagai hukuman tambahan yang dalam pandangan Hak Asasi Manusia (HAM) adalah sesuatu yang kurang tepat, ditambah lagi pelaksana hukuman kebiri adalah tenaga kesehatan atau dokter harus menyalahi kode etiknya sendiri jika harus melakukan sesuatu tindakan yang dapat mencederai orang lain.
Dalam peraturan pemerintah nomor 70 tahun 2020 yang diteken Presiden Jokowi pada tanggal 7 Desember 2020 tersebut menjabarkan tindakan kebiri dalam pasal 1 ayat (2), bahwa tindakan kebiri hanya akan diberikan kepada residivis saja.
"Tindakan Kebiri Kimia adalah pemberian zat kimia melalui penyuntikan atau metode lain, yang dilakukan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, sehingga menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, untuk menekan hasrat seksual berlebih, yang disertai rehabilitasi." [Pasal 1 ayat (2) PP 70/2020]
Pada pasal 5 dari Peraturan Pemerintah (PP) ini disebutkan bahwa tindakan kebiri akan berlangsung dengan jangka waktu paling lama 2 tahun, sedangkan tahapannya melalui 3 tahapan yakni penilaian klinis, kesimpulan dan pelaksanaan.
Dalam hal pelaksanaan yang dituangkan pada pasal 9 huruf b bahwa setelah kesimpulan diterima, maka jaksa akan memerintahkan dokter untuk melakukan tindakan kepada terdakwa.
Dokter yang menjadi eksekutor untuk tindakan kebiri secara terang-terangan menolak untuk dijadikan eksekutor karena menyalahi kode etik profesi kedokteran.
Dalam Pasal 5 KODEKI diatur bahwa tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik, wajib memperoleh persetujuan pasien/keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien tersebut.
Dalam Penjelasannya Pasal 5 KODEKI menjelaskan bahwa pada diri pasien sebagai manusia, kaitan badan/tubuh dan jiwa/mental tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Melemahkan daya tahan psikis dan fisik adalah bertentangan dengan fitrah/tugas ilmu kedokteran, karena hal ini jika dibiarkan justru akan membahayakan nyawa atau memperberat penderitaannya.
Selain itu dalam Pasal 11 KODEKI dijelaskan bahwa setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani. Di dalam Penjelasan Pasal 11 KODEKI disampaikan bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk memelihara kehidupan alamiah pasiennya dan tidak untuk mengakhirinya.
Post a Comment