Pembunuhan Atas Permintaan Korban
「Assalamualaikum」- Halo Jo, kali ini jokkajo.com berusaha merilis tulisan tentang Hukum Indonesia, kaitannya dengan tindakan pidana pembunuhan atas permintaan korban atau Euthanasia. Disusun berdasarkan kaidah penulisan karya ilmiah agar dapat dijadikan referensi yang bermutu.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Kehidupan seseorang merupakan anugerah dari Tuhan yang sangat luar biasa adanya, anugerah yang sangat luar biasa itulah yang sepatutnya dijaga dan dinikmati sebaik baiknya dan tidak untuk di sia-siakan. Banyak orang yang dalam kehidupannya mengalami kendala dan hal itu sering membuat orang frustasi dan ingin mengakhiri kehidupannya. Naudzubillah min zaliq perbuatan mengakhiri hidup adalah perbuatan tercela dan tidak disukai oleh Tuhan, sama saja orang itu tidak mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya.
Dewasa ini banyak cara orang untuk mengakhiri hidupnya, seperti menenggak cairan beracun, di setrum, gantung diri atau bahkan menyuntik mati diri sendiri. Dalam pembahasan makalah ini kami memprioritaskan pada orang yang mengakhiri hidupnya dengan bantuan orang lain dan atas dasar kemauan sendiri yang diucapkan dengan sungguh-sungguh, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) diatur pada pasal 344 tentang pembunuhan atas permintaan korban atau hal ini dikenal dengan istilah Euthanasia.
I.2 Rumusan Masalah
A. bagaimana pandangan hukum mengenai pembunuhan atas permintaan korban?
I.3 Tujuan
A. untuk mengetahui pandangan hukum mengenai permasalahan yang terjadi di masyarakat yakni pembunuhan atas permintaan korban itu sendiri
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Euthanasia dalam pandangan hukum
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, dari akar kata “eu” yang artinya baik, tanpa penderitaan dan “tanathos” yang artinya mati. Jadi euthanasia artinya mati dengan baik atau mati tanpa penderitaan. Euthanasia merupakan permasalahan dibidang kesehatan yang menyulitkan bagi para dokter dan tenaga kesehatan dikarenakan pada kasus-kasus tertentu seorang pasien yang menderita penyakit yang tidak bisa diobati mereka memohon kepada dokter untuk mengakhiri hidupnya salah satunya dengan suntik mati, kasus inilah yang dinamakan euthanasia. Hal ini yang menimbulkan dilema bagi para dokter, dimana di satu sisi apabila dokter mengakhiri hidup pasien atas permintaan pasien itu sendiri maka ia akan menghadapi konsekuensi hukum yang diatur dalam Pasal 344 KUHP dan bertentangan dengan hak asasi manusia tetapi di sisi lain apabila ia tidak mengindahkan permintaan pasien maka pada diri pasien itu akan merasakan penderitaan yang berkepanjangan dan juga menguras dana pasien. Sejauh ini khususnya di Indonesia, melarang adanya tindakan euthanasia walaupun sampai saat ini ada pihak yang menyetujui tentang euthanasia dan ada pula yang tidak setuju. Pihak yang setuju dengan adanya euthanasia berpendapat bahwa setiap manusia mempunyai hak menentukan nasib apakah ia akan mengakhiri atau melanjutkan hidupnya, sedangkan pihak yang tidak setuju berpendapat bahwa manusia itu tidak mempunyai hak untuk mengakhiri hidupnya karena masalah hidup dan mati merupakan kehendak Tuhan.
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sunguh-sunguh, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun.” Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.
Hanya saja isi pasal 344 KUHP itu masih mengandung masalah. Sebagai terlihat pada pasal itu, bahwa permintaan menghilangkan nyawa itu harus disebut dengan nyata dan sungguh-sungguh. Maka bagaimanakah pasien yang sakit jiwa, anak-anak, atau penderita yang sedang comma. Mereka itu tidaklah mungkin membuat pernyataan secara tertulis sebagai tanda bukti sungguh-sungguh. Sekiranya euthanasia dilakukan juga, mungkin saja dokter atau keluarga terlepas dari tuntutan pasal 344 itu, tetapi ia tidak bisa melepaskan diri dari tuntutan pasal 388 yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum, karena makar mati, dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.” Dokter melakukan tindakan euthanasia (aktif khususnya), bisa diberhantikan dari jabatannya, karena melanggar etik kedokteran.
Di dalam Kode Etik Kedokteran yang ditetapkan Mentri Kesehatan Nomor: 434/Men.Kes./SK/X/1983 disebutkan pada pasal 10: “Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup makhluk insani.” Kemudian di dalam penjelasan pasal 10 itu dengan tegas disebutkan bahwa naluri yang kuat pada setiap makhluk yang bernyawa, termasuk manusia ialah mempertahankan hidupnya. Usaha untuk itu merupakan tugas seorang dokter. Dokter harus berusaha memelihara dan mempertahankan hidup makhluk insani, berarti bahwa baik menurut agama dan undang-undang Negara, maupun menurut Etika Kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan:
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus).
b. Mengakhiri hidup seseorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia).
Jadi sangat tegas, para dokter di Indonesia dilarang melakukan euthanasia. Di dalam kode etika itu tersirat suatu pengertian, bahwa seorang dokter harus mengerahkan segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup manusia (pasien), tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Pasal 344 diawali dengan kata “barang siapa”, hal ini menunjukan siapa saja yang melakukan tindakan yang dimaksud dapat dipidana dengan pidana penjara dua belas tahun lamanya, “menghilangkan jiwa” kata tersebut sama saja dengan pembunuhan, tapi dalam pasal pembunuhan yang dimaksud ialah pembunhan atas permintaan korban itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati. Dalam banyak kasus pelakunya ialah seorang dokter yang diminta oleh pasiennya untuk mengakhiri hidupnya dikarenakan penyakit yang sulit untuk disembuhkan. Kemudian jika diperhadapkan dengan hukum yang berlaku di Indonesia dokter tersebut dianggap bersalah dan melawan hukum.
Menelisik pertanggungjawaban pidana yang dilakukan dokter atau tenaga medis dalam kasus euthanasia, ditinjau dari KUHP sebenarnya hanya melihat dokter sebagai pelaku utama euthanasia tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut, mungkin saja dilakukan karena permintaan pasien itu sendiri untuk mengurangi rasa sakit dan penderitaanya, sehingga dikatakan bahwa posisi dokter itu serba salah. Apabila ditelurusi dalam secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal 2 bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien itu sendiri yang disebut dengan euthanasia aktif dimana diatur dalam Pasal 344 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” dan euthanasia yang dilakukan dengan sengaja melakukan pembiaran terhadap pasien yang disebut dengan euthanasia pasif diatur dalam Pasal 304 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara,padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan,perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu,diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Dari bunyi pasal diatas dapat dikatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain, walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan membiarkan (Pasal 304) dan atas permintaan orang itu sendiri (Pasal 344) karena akan tetap diancam pidana bagi pelakunya sekalipun pelakunya itu dokter.
Dengan demikian, sampai saat ini dilihat dari hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang. Apabila dicermati dalam Pasal 344 KUHP pada unsur “permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”, jelaslah unsur ini harus dapat dibuktikan baik dengan adanya saksi atau alat-alat bukti lainnya karena unsur ini yang akan menentukan apakah dokter tersebut dapat dipidana. Pasal 344 KUHP merupakan aturan khusus dari Pasal 338 KUHP, dimana pasal 338 KUHP yang berbunyi “Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 5 lima belas tahun”. Nilai kejahatan pembunuhan atas pemintaan pasien lebih ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) yang diancam pidana penjara setinggi-tingginya 15 tahun penjara dan jauh lebih berat daripada kelalaian yang menyebabkan matinya orang (Pasal 359 KUHP) yang diancam pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara. Faktor lebih ringan dari pembunuhan biasa disebabkan oleh pembunuhan atas pemintaan pasien, permintaan pasien itu oleh hukum masih dihargai dengan diberi ancaman pidana 2 tahun lebih ringan daripada pembunuhan biasa dibandingkan jika kematian tidak dikehendaki korban / pasien.
II.2 Kaitan Euthanasia dengan HAM
Apabila euthanasia ini dikaitkan dengan hak asasi manusia merupakan pelanggaran karena berhubungan dengan hak hidup pasien yang harus dilindungi oleh negara terutama negara hukum yaitu Indonesia yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 3 Undang –Undang Dasar 1945 itulah sebabnya negara hukum harus menjunjung tinggi hak asasi manusia. Seperti diketahui hak kodrat dari manusia yang paling utama adalah hak untuk hidup, dimana didalamnya termasuk juga “hak untuk mati” yang digunakan untuk menghindarkan pasien dari segala penderitaan yang dialami. Mengenai hak untuk hidup telah diakui di dunia dengan diakuinya Universal Declaration Of Human Rights (UDHR) oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948 dan di Indonesia hak untuk hidup dirumuskan dalam Pasal 28A Undang – Undang Dasar 1945 merupakan dasar dari segala peraturan Perundang - undangan yang bunyinya “setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya” sedangkan hak untuk mati secara tegas belum dicantumkan dalam peraturan hukum di Indonesia maupun dalam deklarasi dunia. Disisi lain terdapat juga hak untuk menentukan nasib sendiri yang berasal dari pasien termasuk hak dari pasien untuk menentukan pilihannya dalam hal pelayanan kesehatan, hak ini bertolak belakang dengan hak untuk hidup dikarenakan hak untuk menentukan nasib sendiri timbul apabila euthanasia dilakukan karena permintaan pasien sendiri tanpa adanya tekanan dari pihak lain dan keterangan dokter menyatakan bahwa pasien tidak dapat sembuh. Walaupun hak untuk menentukan nasib sendiri tidak tercantum dalam UDHR tetapi secara khusus sudah diatur dalam International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yaitu dalam Pasal 1 yang berbunyi “setiap orang mempunyai hak menentukan nasib sendiri”. Hak menentukan nasib sendiri mencakup juga kebebasan dan keamanan terhadap diri sendiri namun perlu diatur dan dijelaskan batasan-batasan mengenai kebebasan seperti apa yang manusia inginkan. Karena belum adanya batasan-batasan yang jelas maka pasien yang akan melakukan euthanasia dapat menjadikan hak itu sebagai dasar pengambilan keputusan agar dirinya di euthanasia.
II.3 Contoh Kasus
Masih ingat Ny Agian yang karena lama tidak sadarkan diri dari sakitnya membuat sang suami minta agar RS menyuntik mati saja (euthanasia), tapi ditolak? Menurut dr Marius Widjajarta, apa yang dilakukan RS terhadap Ny Agian sudah masuk kategori euthanasia pasif. "Sebenarnya pihak RS sudah melaksanakan euthanasia pasif. Kalau orang yang tidak punya uang dan membuat suatu pernyataan tidak mau dirawat, itu sudah merupakan euthanasia pasif meskipun euthanasia dapat diancam hingga 12 tahun penjara," kata Marius dari Yayasan Konsumen Kesehatan Indonesia menjawab pertanyaan wartawan. Seperti diketahui, Ny Agian Isna Nauli (33) hingga kini dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak sadarkan diri pasca melahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya (Hassan Kusuma) meminta RSCM menyuntik mati istrinya karena dirasa tidak ada harapan hidup normal kembali. Tapi RSCM menolak menyuntik mati Agian karena secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun dia tidak bisa melakukan kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi, digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk euthanasia. Selain itu, di Indonesia, euthanasia tidak dibenarkan dalam etika dokter juga dalam hukum "Jadi saya rasa, kalau pembiayaan kesehatan sudah ditanggung negara dengan disahkannya UU Sistem Jaminan Sosial, maka saya rasa kasus-kasus euthanasia tidak terulang lagi, " sambung dr Marius.Bagaimana dengan permintaan euthanasia bukan alasan biaya, tapi karena tidak punya harapan hidup? "Karena itulah saya sudah menganjurkan pada pemerintah, profesi, ahli hukum, dan agama, kalau euthaniasi diatur lagi sesuai peraturan. Jangan seperti sekarang, boleh atau tidak boleh. Tetapi, harus ada jalan keluarnya bahwa pasien mempunyai hak untuk memilih," demikian dr Marius.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Pembunuhan atas permintaan korban atau dikenal dengan istilah Euthanasia sejatinya diatur dalam pasal 344 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang diancam dengan pidana penjara dua belas tahun. Dalam berbagai kasus pelakunya ialah seorang dokter, dokter sering kali dilema antara menuruti permintaan pasien atau tidak mengindahkannya. Keduanya pun memiliki resiko yang berat jika dijalankan. Hukum di Indonesia cukup tegas melarang praktik Euthanasia dilakukan di negeri ini atas dasar hak untuk hidup yang dijamin oleh negara. Jadi pada dasarnya segala bentuk pembunuhan yang dilakukan meskipun atas permintaa korban tetap tidak bisa dilakukan dan jika dilakukan sama saja melawan hukum.
III.2 Saran
Hidup adalah anugerah dari Tuhan yang bukan hanya sekedar untuk dinikmati, akan tetapi untuk disyukuri, barang siapa yang mensyukuri nikmat Tuhan niscaya akan ditambahkan nikmat itu. tapi jika tidak disyukuri, sesungguhnya azab Tuhan amatlah pedih.
Itulah sedikit tulisan tentang Euthanasia atau pembunuhan atas permintaan korban.
Post a Comment